LalangBuana, BANDUNG — Korlantas Polri mendorong pemerintah daerah agar segera menghapus kebijakan Bea Balik Nama (BBN) II, pajak progresif, dan pemutihan kendaraan. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kesamaan data jumlah kendaraan di antara lembaga yakni kepolisian, Dinas Pendapatan Daerah, dan Jasa Raharja.
Menurut Direktur Regident Korlantas Polri, Brigjen Yusri Yunus, selama ini terdapat perbedaan data jumlah kendaraan bermotor yang dihimpun oleh kepolisian, Kementerian Dalam Negeri, dan Jasa Raharja. “Di data saya sampai saat ini 153 juta kendaraan bermotor yang ada di Indonesia, data kendaraan di Kemendagri 122 juta, dan data yang ada di jasa Raharja 113 juta,” ujar Yusri di acara kegiatan Rapat Koordinasi Tim Pembina Samsat Tingkat Nasional di Kota Bandung, Senin (13/3).
Sejumlah contoh kasus, kata dia, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menghapus tiga sektor pajak tersebut. Pertama, yakni terkait dengan budaya di masyarakat Indonesia yang sering membeli kendaraan bekas tapi enggan membayar BBN II karena biayanya yang terbilang mahal. Hal itu membuat data yang dihimpun menjadi tumpang tindih.
“Pajaknya motor Rp 250 ribu, bayar BBN Rp 1,5 juta. Harga motor cuma Rp 2 juta. Ini contoh loh sehingga orang nggak mau bayar pajak,” katanya.
Terkait pajak progresif, kata Yusri, maksud diberlakukannya pajak progresif yakni untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat. Namun, ternyata belakangan ini marak masyarakat yang memiliki kendaraan lebih satu, tapi kepemilikan kendaraannya mengatasnamakan orang lain agar terhindar dari pajak.
“Saya punya mobil pertama progresif, tapi yang kedua pakai nama pembantu, pakai nama tetangga, dan keempat pakai nama saudara, kan akhirnya nggak valid datanya,” paparnya.
Begitu juga, kata dia, dengan pemutihan yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Menurut Yusri, pemutihan justru membuat masyarakat makin enggan membayar pajak.
Yusri pun berharap, pemerintah daerah dapat segera menghapuskan kebijakan pemutihan. “Gak usah pakai pemutihan, itu bukan hal yang bagus,” katanya.
Sementara menurut Kakorlantas Polri, Irjen Firman Shantyabudi, kesamaan atau ketertiban dalam hal pendataan diperlukan di antara berbagai lembaga. Dengan data yang tertib, pemerintah daerah pun semakin mudah untuk mengelola pajak.
“Inilah yang saya katakan tidak tertib. Negara tidak tau berapa pajak yang bisa dikelola,” katanya.
Firman berharap, masyarakat dapat taat membayar pajak. Sebab, ketaatan dalam membayar pajak membuat pemilik kendaraan mendapat perlindungan.
“Bahwa kendaraan yang legal itu dilindungi, kita tidak berharap ada yang kecelakaan, tapi ketika ada yang celaka, nah langsung dapat datanya dan langsung kepada yang bersangkutan,” katanya.
Menurut Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, pihaknya sepakat BBN II dan pajak progresif dihapuskan untuk menciptakan tertib data. Khusus untuk pajak progresif, kebijakan tersebut ternyata tak dapat mengendalikan kehendak masyarakat memiliki lebih dari kendaraan serta membuat kacau pendataan.
“Hasil dari evaluasi ini tidak akan menahan orang yang akan membeli kendaraan,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, agar lebih tertib lagi datanya dan juga lebih tertib lagi, maka pajak progresif bisa dihapuskan. “Sehingga kendaraan itu yang dimiliki itu betul-betul atas nama orang yang memiliki, bukan atas nama orang lain yang tidak terdaftar,” katanya.
Padahal, menurut Agus, melalui ketertiban data, ketaatan masyarakat untuk membayar pajak dapat semakin baik yang berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. Diketahui, sektor pajak kendaraan bermotor memberi sumbangsih hampir 40 persen bagi pendapatan daerah.
Sumber:Republika