Pengalaman Gaib Haji Masagung, Pendiri Gunung Agung Sebelum Putuskan Jadi Mualaf

LalangBuana, JAKARTA –Haji Masagung atau yang memiliki nama kecil Tjio Wie Tay. Merupakan pria keturunan etnis Tionghoa kelahiran Jatinegara, Jakarta Timur pada 8 September 1927.


Kakeknya yang datang dari Cina langsung menetap di Bogor, sedangkan neneknya berasal dari Bali. Pemilik Toko buku Gunung Agung yang pernah paling jaya di Indonesia hingga mancanegara ini ternyata tidak lahir sebagai seorang muslim.


Mengutip kisahnya dari channel youtube @ketutmasagung9557 Haji Masagung Wie Tay kecil bukanlah seorang pemeluk agama. Dia hanya menjalankan ritual sesuai dengan tradisi Tionghoa. Sedangkan untuk melengkapi administrasi dia mencantumkan kolom agama sesuai dengan agama neneknya.


Baru di tahun 1975, dia meyakini Islam sebagai agama yang dipegang teguh hingga akhir hayatnya. Wie Tay yang kemudian setelah memeluk Islam berganti nama menjadi Masagung menceritakan perjalanan spiritualnya hingga menemukan hidayah.


Di tahun itu Masagung telah memiliki segalanya. Istri dan tiga anak, harta yang banyak, karir yang berada dipuncak dan berbagai yayasan sosial pun didirikannya.


“Hidayah yang saya dapatkan merupakan pengalaman ghaib, dan seperti mendengar seseorang bercerita kepada saya,” ujar dia.


Dia mengenalkan dirinya sebagai murid seorang walisongo. Sembari bercerita, Masagung diperlihatkan gambaran rumah yang saat itu dimilikinya.


“Saya memiliki rumah dengan taman dan aliran sungai kecil yang indah, tetapi anehnya saya tidak memiliki jalan untuk tiba di rumah saya,”ujar dia.


“Jalan” yang tidak ada diartikan sebagai agama sedangkan “rumah” itu merupakan surga. Sehingga Masagung mengartikan kisah itu seperti dirinya yang telah memiliki segalanya tapi hanya satu yang tidak mungkin mendapatkannya yakni surga, karena tidak memiliki agama.


Sejak saat itu dia berikrar untuk memeluk Islam. Bagi seorang Tionghoa tidak mudah untuk menjadi seorang muslim.


Masagung kembali dimunculkan sesosok alim yang kembali menggambarkan rumah, dan kini telah memiliki jalan hanya saja tidak ada “pintu” untuk masuk ke dalam rumah tersebut. Pintu ini diartikannya sebagai syariat Islam.


Sebagai muslim, tidak hanya cukup sekadar bersyahadat. Dia juga harus menjalankan kewajiban lain yang tercantum dalam rukun iman dan rukun islam.


Diakui Masagug tidak mudah untuk mempelajari bacaan shalat. Butuh satu tahun untuk bisa melafalkan Al fatihah secara jelas dan lima tahun untuk secara konsisten menjalankan kewajiban sebagai umat Islam, dari mulai shalat, puasa, berzakat hingga berhaji.


Tak hanya sampai menjalankan syariah. Masagung juha diperlihatkan kembali wujud rumah indahnya dengan jalan dan pintu. Namun dia tidak memiliki “kunci”.


Dalam kisahnya itu, kunci merupakan segala hal kehidupannya yang harus dijalankan sesuai perintah dan menjauhi larangan Nya. Dia mengingat sebagai pedagang dengan berbagai bisnis tidak semuanya bisnis bersih.


Masagung kemudian meninggalkan seluruh bisnisnya yang terindikasi ada yang tidak bersih. Dia pun kemudian mendirikan Masjid setelah menikah kembali karena istri sebelumnya telah wafat di tahun 1986.


Tak hanya kembali menikah, Masagung dan istrinya pun berikrar untuk mengabdikan dirinya di jalan Allah. Sehingga di masa hidupnya dia bisa mengharumkan Islam dan tak terputus di tengah jalan.


Setelah memilki toko Buku Gunung Agung, Masagung kemudian membuka toko buku Wali Songo khusus untuk buku-buku dan kebutuhan umat Islam seperti perlengkapan shalat, Alquran dan busana muslim.


Toko buku ini bersebelahan dengan Masjid Al Araf yang dibangun hanya dalam waktu tiga bulan. Sebelumnya Masagung dan istri hanya ingin membangun mushala kecil di atas rumahnya.


“Kami menamakan masjid tersebut dengan masjid Al Araf karena ketika subuh saya .membuka Alquran dan terbuka surat Al Araf dan sesuai dengan artinya yakni tempat tertinggi,”ujar dia.


Namun ternyata mushala tersebut semakin makmur sehingga diperluas. Baru sekitar tiga bulan ruangan masjid tidak muat menampung jamaah shalat Jumat maupun tarawih.


Sehingga masjid tersebut kembali diluaskan. Tak hanya masjid, di gedung itu juga dibangun pusat kajian Islam sehingga siapapun dapat belajar Islam setiap saat.


Satu ornamen khas yang berkesan untuk Masagung adalah jam besar yang terbuat dari kayu dengan ukiran surat yasin. Melihat antusias umat Islam di masa itu, Masagung pun berniat untuk membangun masjid di Kadumangu, Babakan Madang, daerah Bogor dekat dengan asal leluhurnya. Dia menamakan masjid tersebut dengan nama Masjid Agung Wali Songo.


“Bagi saya yang terpenting niat, untuk urusan dana nanti akan datang sendiri, karena sebagai muslim seharunya malu jika harus meminta-minta, dan ajaran agama pun menganjurkan tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah,”ujar dia.


Prinsip hidup ini pula yang terus dipegang oleh Masagung bahkan ketika berdoa di Multazam yakni sebuah tempat yang berada di antara hajar aswad dan pintu kakbah. Di tempat itu Masagung shalat sunnah dua rakaat dan berdoa agar dirinya terus menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan agama.


Haji Masagung meninggal pada 24 September 1990 lalu. Beliau dimakamkan di kawasan Citeureup, Bogor.


 



Sumber:Republika