Menunda Pemilu, Pemilu 1955 sebagai Pemilu yang Tertunda |oohya

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta pusat memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. Media mengartikan ini sebagai perintah menuda pemilu. Pada awal kemerdekaan, ada pemilu yang tertunda, yaitu Pemilu 1955. Foto ilustrasi Gedung KPU (foto: republika)
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta pusat memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. Media mengartikan ini sebagai perintah menuda pemilu. Pada awal kemerdekaan, ada pemilu yang tertunda, yaitu Pemilu 1955. Foto ilustrasi Gedung KPU (foto: republika)

Berbagai media melaporkan putuan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Putusannya memerintahkan KPU untuk “tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama kurang lebih dua tahun empat bulan tujuh hari sejak putusan ini dibacakan”. Sekaligus juga memerintahkan KPU untuk “melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal untuk selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari”.

Media-media lalu memberitakan PN Jakarta Pusat meminta KPU menunda pemilu. Tapi PN Jakarta Pusat membantah putusannya memerintahkan KPU menunda pemilu, melainkan memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

Jika KPU bekerja dari awal lagi selama dua tahun empat bulan tujuh hari sejak putusan dibacakan 2 Maret 2023, artinya pemilu akan dilaksanakan pada 9 Juli 2025. Jadwal Pemilu yang Tertunda setahun empat bulan 25 hari, karena jadwal pemilu uang ditetapkan KPU jauh pada 14 Februari 2024.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Putusan PN Jakarta Pusat tidak khusus menyebut khusus untuk melakukan tahapan verifikasi terhadap Partai Prima yang melakukan gugatan, melaikan melaksanakan tahapan pemilu dari awal. Ini artinya, KPU harus membahas lagi mulai dari perencanaan anggaran.

Pemilu yang Tertunda, Pemilu 1955

Dalam sejatah pemilu di Indonesia, ada dua pemilu yang tertunda. Pertama, Pemilu 1955 yang tertunda dari rencana awal karena situasi politik yang belum stabil sejak Proklamasi Kemerdekaan disusul dengan adanya agresi militer Belanda. Pemilu 1955 memilih anggota Konstituante. Kedua Pemilu 1957 anggota DPRD-DPRD di Jawa.

Dalam pembahasan Rancangan UUD pada 18 Agustus 1945, tercantum pasal mengenai pembentukan Badan Permusyawaratan Rakyat enam bulan kemudian.

Pasal inilah yang dipakai untuk melobi Ki Bagus Kusumo yang tidak menyetujui penghasilan tujuh kata di Pembukaan UUD, yaitu “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”. Tujuh kata itu dihapus pada sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, setelah Hatta menerima laporan dari opsir Jepang. Kemudian, naskahnya diubah menjadi “Berdasar atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa”.

Esok paginya, Ki Bagus Hadikusumo menyatakan keberatannya terhadap penghapusan itu. AKibatnya, memerlukan lobi-lobi lagi yang membuat jadwal pembukaan sidang hari itu molor dua jam dari yang semula.

Penghapusan tujuh kata itu dilakukan karena ada kekhawatiran berpisahnya beberapa daerah dari Republik yang baru diproklamasikan. Anggota Komite Sembilan PPKI AA Maramis –perwakilan dari Indonesia Timur dan non-Muslim– yang ikut menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, menurut Moh Hatta di buku Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs, sebenarnya tak keberatan dengan tujuh kata itu, karena sudah yakin kata-kata syariat itu tak diberlakukan untuk warga negara yang non-Muslim. Namun, Hatta memilih mempercayai laporan dari opsir Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan kepadanya mengenai adanya keberatan dari para pemimpin non-Muslim di Indonesia Timur. Wilayah Indonesia Timur saat itu masih dalam pengawasan Angkatan Laut Jepang setelah Jepang kalah dari Sekutu.

Singkat cerita, penghapusan tujuh kata dipandang perlu dilakukan untuk menjaga persatuan. Tapi, Ki Bagus Hadikusumo yang juga ketua Muhammadiyah, tidak setuju ketika esok harinya mengetahui perubahan itu. Kasman Singodimedjo di buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun bercerita, bujuk rayu dari Hatta, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan tak mampu meluluhkan hati Ki Bagus. Lalu diutuslah Kasman Singodimedjo. Singodimedjo merupakan anggota baru PPKI yang ditambahkan Sukarno tanpa sepengetahuan Jepang pada 18 Agustus 1945. Selain Singodimedjo, ada pula Wiranatakusuma, Ki Hajar Dewantara, Sajuti, Iwa Kusumasumantri, dan Subardjo.

Singodimedjo lalu menjalankan komunikasi persuasif dan komunikasi budaya untuk membujuk Ki Bagus. Ia menggunakan bahasa Jawa halus (krama inggil) saat berbicara empat mata dengan Ki Bagus, demi terjaganya harmoni. Kasman menyampaikan, betapa tak eloknya jika rakyat tahu bahwa para pemimpinnya sudah berantem sehari setelah kemerdekaan. Selain itu, Singodimedjo juga mengingatkan bahwa pembahasan UUD 45 ini masih bersifat sementara:

Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan lagi nanti kita dapat adakan majelis permusyawaratan rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit. Kiai, tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas in sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah. (Singodimedjo, 1982: 129).

Setelah menyimak pernyataan Singodimedjo, Ki Bagus akhirnya menyetujui penghapusan tujuh kata karena janji akan dibahas lagi enam bulan kemudian. Setelah berhasil meluluhkan hati Ki Bagus, Singodimedjo memberi tahu Hatta. Menurut Singodimedjo, Hatta pun mendengar langsung dari Ki Bagus tentang persetujuannya terhadap penghapusan tujuh kata itu. Dalam Himpunan Risalah Sidang-sidang disebutkan bahwa rapat pagi itu seharusnya dimulai pukul 09.30, tapi molor hingga 11.30. Tujuh kata itu di sudah tak ada lagi di pembukaan rancangan UUD yang disampaikan Hatta dalam sidang. Pun tak ada perdebatan lagi ketika pembukaan itu dibahas di sidang.

Tapi situasi politik berkata lain. Republik Indonesia harus berkonfrontasi dengan Belanda hingga 1949, sehingga urusan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pembahasan Undang-undang Dasar tak bisa dilaksanakan. Pemilu baru bisa dilaksanakan pada 1955, dan terbentuk Konstituante. Pada sidang Konstituante Kasman Singodimedjo menagih janji pembahasan kembali tujuh kata itu pada kesempatan membahas UUD baru. Pembahasan UUD baru itu berlarut-larut, sehingga muncul ide agar kembali ke UUD 1945 saja, tapi juga tak membuahkan hasil.

Konstituante, Hasil Pemilu 1955, Dibubarkan

Pada tanggal 2 Juni 1959, seperti yang bisa dibaca di buku MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, jumlah suara terakhir yang menyetujui diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 adalah 56 persen, kurang dari jumlah dua per tiga yang diperlukan. Sekali lagi terjadi jalan buntu.

Jumlah anggota Konstituante ada 514. Suara 56 persen pendukung kembali ke UUD 45 berasal dari partai-partai sekuler. Partai NU semula mendukung di bawah ancaman bahwa tokoh-tokohnya akan dituntut dengan tuduhan melakukan korupsi. Tetapi NU tetap memberikan syarat, setuju jika Piagam Jakarta dimasukkan dan memiliki kekuatan hukum.

Dengan dukungan suara dari NU, suara di Konstituante bisa mencapai dua per tiga dari jumlah anggota. Pemerintah kemudian mengajukannya ke Konstituante pada April 1959. Tetapi karena mayoritas anggota Konstituante menolak dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD pada sidangnya Mei 1959, NU berbalik arah menentang usulan kembali ke UUD 45.

Sidang pembahasan tak dilakukan lagi karena Konstituante memasuki masa reses. Masa reses belum habis, Sukarno membubarkan Konstituante pada 5 Juli 1959. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan pertimbangan pembubarannya:

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Kembali ke Piagam Jakarta

Meski Konstituante dibubarkan, kembali ke UUD 1945 tetap bisa dilakukan. Tidak lagi lewat keputusan Konstituante, melainkan lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu juga. Lewat dekrit inilah, Sukarno bisa memenuhi janji yang diberikan kepada Ki Hadikoesoemo terkait penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Dalam dekrit itu, Sukarno menyatakan:

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.

Priyantono Oemar



Sumber:Republika