Ma’Mun Murod Jadi Guru Besar: Tingkatan Paling Akhir Jabatan Fungsional

LalangBuana, JAKARTA — Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ma’mun Murod Al-Barbasy resmi diangkat dalam jabatan gelar guru besar bidang ilmu politik UMJ. Penyerahan surat keputusan pengangkatan jabatan akademik dan fungsional dosen tersebut diselenggarakan di LLDIKTI Wilayah III di Jakarta pada Rabu (16/8/2023).

Ma’mun Murod diangkat sebagai guru besar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nomor 37257/M/07/2023 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen. Ma’mun merupakan guru besar ke 40 pada 2023 dengan angka kredit sebesar 851,50.

Ma’mun pun menyampaikan rasa syukur atas gelar tersebut. Dia mengaku tidak menduga bisa memperoleh pencapaian itu pada usianya ke-50 tahun. Dalam pengangkatannya, Ma’mun menegaskan, setiap jabatan tinggi yang diemban harus selalu mengutamakan dan mementingkan sendi-sendi yang ada di masyarakat dalam pengjawantahannya.


Meski begitu, dia melihat, dalam tradisi akademik di lingkup kampus, raihan guru besar merupakan hal yang lazim yang harus diraih oleh dosen. “Itu kan hanya tingkatan paling akhir dari jabatan fungsional yang disandang oleh dosen, jadi sebenarnya biasa-biasa saja tak ada sesuatu yang diistimewakan,” kata Ma’mun kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu.


Kendati begitu, sambung dia, tradisi yang ada di masyarakat meresonansi jabatan guru besar dipandang segalanya. Sehingga, seorang yang sudah bergelar guru besar atau profesor, seolah menjadi makhluk yang segalanya yang dituntut untuk serba bisa.

“Guru besar adalah rangkaian dari jabatan fungsional seorang dosen yang tentu ketika seorang dosen itu mampu secara serius dalam mengusahakan yang tentu dengan segala persyaratan yang sangat rumit, ia akan memperolehnya itu,” kata Ma’mun.

Hanya saja, kata Ma’mun, yang terpenting adalah seorang guru besar harus menampilkan citra diri sebagai akademisi paripurna. Baik, paripurna dari sisi pendidikan yang harus doktor, dan paripurna dari sisi jabatan fungsional yang sudah guru besar.

“Ya maka menjadi niscaya seorang doktor dan seorang guru besar harus mampu bersikap kritis, bukan malah sebaliknya, ketika sudah bergelar doktor atau profesor maka kemudian cenderung lebih suka berada di zona nyaman, zona yang nonkritis dan biasa-biasa saja, padahal problem kemasyarakatan problem kenegaraan itu menganga di depan kita,” ucap alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut.



Sumber:Republika