Kemenkes Jelaskan Penghapusan Mandatory Spending Lima Persen di APBN

LalangBuana, JAKARTA — Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi menyoroti banyaknya keluhan penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) kesehatan di APBN sebesar lima persen dalam RUU Kesehatan.


Dia mengatakan, selama usulan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan ditampung, Kemenkes memang tidak menyiratkan angka spesisfik dari mandatory spending tersebut. Siti menjelaskan, penyusunan anggaran dalam prosesnya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan target dana serta langkah yang jelas.


“Terakhir, ada sistem informasi yang gak memonitoring realisasi anggaran baik APBN, maupun sumber APBD karena selama ini anggaran ini tidak dapat dimonitor real time  bahkan baru bisa setiap enam bulan,” kata Nadia kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (9/6/2023).


Dia menjelaskan, meski tidak ada angka spesifik pengeluaran wajib di APBN, Kemenkes tetap mengupayakan berbagai pengaturan belanja kesehatan yang lebih baik. Siti memerinci, ke depan, akan ada perencanaan yang berbasis prioritas penyelesaiaan masalah dengan sifat lokal spesifik maupun target nasional. 


Dalam pembahasan RUU Kesehatan, sambung dia, persoalan mengenai mandatory spending layanan kesehatan sejauh ini memang menjadi aral di Panja RUU Kesehatan. Sebagian pihak meminta ada peningkatan anggaran kesehatan, tetapi pemerintah berhasil meyakinkan keputusan dengan voting yang akhirnya diterima anggota mayoritas panja DPR.

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan pun akhirnya menyepakati penghapusan mandatory spending atau pengeluaran wajib minimal lima persen dari APBN untuk kesehatan. Keputusan tersebut diambil setelah mayoritas anggota Panja RUU Kesehatan menyetujui usulan pemerintah.

“Kami meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena sudah berjuang maksimal agar pasal mandatory spending minimal lima persen APBN untuk layanan kesehatan masuk dalam batang tubuh RUU Kesehatan. Namun ternyata kami kalah suara saat voting dalam Panja RUU Kesehatan,” ujar anggota Fraksi PKB DPR Nihayatul Wafiroh di Jakarta, Kamis (8/6/2023).

PKB, kata Nihayatul, tentu sangat menyayangkan fakta politik tersebut. Dia menilai, PKB dari awal menegaskan jika anggaran layanan kesehatan harus dikategorikan sebagai mandatory spending, karena disebutkan secara jelas dalam batang tubuh UU Kesehatan.


“Bahkan PKB dengan tegas memastikan bahwa mandatory spending tersebut minimal lima persen dari APBN dan disebutkan dalam batang tubuh UU kesehatan, tidak sekadar dalam penjelasan UU,” kata wakil ketua Komisi IX DPR itu.



Sumber:Republika